Ad Code

Responsive Advertisement

Cerita pilu para nelayan Raja Ampat


 


Oleh : feki mobalen

 

Musay Yapen masih ingat betul teguran dari lelaki penjaga resort yang memintanya untuk menjauhi area perairan dekat penginapan mewah yang terletak di Distrik Mansoar, Waisai, Raja Ampat, Papua Barat. Kala itu, sekitar medio 2016, malam melarut di laut kepulauan yang kini menjadi destinasi wisata dunia. “Saya dikejar speed boat karena berani mencari ikan dekat perairan resort. Namun beruntung karena jarak yang jauh saya bisa lari dari situ,” katanya. Malam itu di tengah kegelapan Musay bisa lolos dari galaknya penjagaan dari pihak penginapan.

 

Musay adalah seorang anak asli Kepulauan Raja Ampat. Usianya 30 tahun. Tak hanya sekali ia harus berurusan dengan keadaan yang demikian. Padahal sekali lagi, ia adalah orang asli Raja Ampat. Menjadi nelayan di Raja Ampat ternyata tak seperti yang banyak orang bayangkan. Banyak ikan di kolam-kolam (begitu sebutan spot tempat ikan berkumpul) yang kaya akan pemandangan.

 

“Sulit sekali hidup di Raja Ampat dan menjadi nelayan, tempat-tempat dulu kami mencari sekarang perairannya tak lagi bebas, bisa jadi karena wilayah konservasi atau juga menjadi konsesi yang dimiliki para pengusaha resort,” ujar Musay sembari menunjukkan wajah pasrah. Gaung megahnya pariwisata Raja Ampat ke seantero dunia. Hanya ditertawakan saja oleh Musay dan kawan-kawan nelayannya. Sebuah senyuman yang kemudian berganti seketika dengan raut wajah sedih bercampur marah.

 

“Banyak dari kami orang asli tak menikmati apapun atas itu,” ujarnya diikuti anggukan banyak nelayan.

 

“DILARANG MASUK, BUKAN AREA UMUM”

 

“INI WILAYAH PRIVAT”

 

“BAGI YANG TIDAK PUNYA KEPENTINGAN DILARANG MASUK”

 

Marka-marka itu terlihat di sepanjang kawasan Waiwo, Waisai -Ibu Kota Kabupaten Raja Ampat. Pagar-pagar dipancang tinggi.

 

Papan-papan aturan bernada keras itu bisa diartikan teguran bagi sesiapa yang mencoba melompati pagar agar segera menjauh. Area-area penginapan itu disulap dari asalnya area milik umum yang dikuasai secara adat oleh suku atau marga di Raja Ampat, menjadi kawasan eksklusif yang dikelola atau bahkan dimiliki oleh para pengusaha, yang kebanyakan berasal dari luar kepulauan, bahkan dari luar negeri.

 

“Kami sekarang ini bagai menonton banyak orang berliburan saja,” kata Frits Mirino, nelayan yang berusia 32 tahun kawan akrab Musay saat ditemui di Kampung Timin Dores, Kota Waisai, Raja Ampat dengan senyum mengembang. Namun lagi-lagi sesaat wajahnya kemudian sendu serius sambil melemparkan sirih yang ada di genggamannya, “Ya betul, kami hanya jadi penonton sementara mereka bersenang-senang.”

 

Ia yang warga asli Raja Ampat hanya bisa menjadi penonton parade keriaan tanpa terciprati kesenangan itu sendiri.

 

Frits kemudian bercerita soal masa-masa keemasan nelayan Raja Ampat. Setidaknya menurut pengalamannya yang lahir dari keluarga nelayan turun temurun, Era 1980-an hingga akhir 1990-an merupakan masa di mana semua nelayan di Raja Ampat hidup cukup sejahtera. “Kami bisa tangkap lebih dari 50 kg beragam ikan per hari, itu buat dijual saja, belum lagi untuk yang kami makan,” katanya. Jika diuangkan, per hari para nelayan saat itu berpenghasilan Rp 1 juta per hari. Kini kondisi itu sudah tidak lagi.

 

***

 

Kepulauan Raja Ampat yang memiliki nama administrasi Kabupaten Raja Ampat, merupakan wilayah administratif pemekaran dari kabupaten Sorong. Dengan luas 46.108 kilometer persegi, kabupaten Raja Ampat memiliki 1.800 pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai 753 km. Namun hanya sekitar 35 pulau yang berpenghuni.

 

Semula, daratan pulau-pulau Raja Ampat masih dipenuhi oleh hutan, bahkan beberapa kawasan hutan berstatus cagar alam dan hutan lindung. Setelah pemekaran kabupaten, potensi wisata baharinya yang terendus sampai mancanegara, oleh keindahan dalam laut dan keanekaragaman jenis ikan, para pemodal berdatangannya menginvestasikan dalam resort-resort.

 

Kunjungan wisatawan dalam dan luar negeri sangat tinggi, pada 2009 saja, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Raja Ampat mencatat ada sekitar 3.800 wisatawan, terdiri atas 800 wisatawan domestik dan 3.000 wisatawan mancanegara yang didominasi turis Amerika dan Eropa. Nah ingin tahu data terakhir dari kunjungan wisata Raja Ampat?

 

Tercatat dalam situs Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Raja Ampat, ada sekitar 14.215 wisatawan asing dan 3.457 wisatawan domestik yang bersenang-senang selama 2016. Terbayang lonjakannya? Lonjakan itu kemudian membuat maraknya pembangunan sarana pariwisata di kepulauan ini. Resort hanya satu dari ratusan macam fasilitas yang dibangun di atas tanah dan perairannya.

 

Menjamurnya resort, cottages, homestay dan tempat-tempat penginapan bagi pelancong yang ingin menikmati kawasan Raja Ampat, tentu memiliki dampak positif dan negatif terhadap ekonomi, sosial dan budaya kepada masyarakat yang tinggal disekitar tempat penginapan maupun lokasi wisata. Penguasaan lahan-lahan untuk pembangunan lokasi resort, cottages, homestay dan lain-lain tentu mengkapling suatu tempat dan menutup akses kepada pihak lain untuk hilir mudik secara leluasa kedalam wilayahnya.

 

Belum lagi material bangunan resort itu sendiri, dengan tema wisata alam bahari, tentu para pemilik resort, cottages atau homestay akan menggunakan unsur alam yang mendominasi sebagai struktur bangunannya. Tentu pembongkaran dan penebangan kawasan hutan untuk lahan dan material bangunan dilakukan disekitar lokasi yang memang masih berhutan. Ditambah akses menuju kabupaten Raja Ampat boleh dikatakan sangat lancar, sehingga material bangunan permanen macam semen tentu sulit diperoleh dan mahal.

 

***

 

Raja Ampat tidak hanya menyajikan potensi wisata luar biasa, yang bisa jadi bukan itu alasan pemekaran kabupaten. Sebelum kawasan pariwisata Raja Ampat booming, justru awal-awal pemekaran kabupaten Raja Ampat, diserbu oleh perusahaan-perusahaan tambang nikel. Setidaknya ada 30 Kuasa pertambangan (KP) dan 1 buah Kontrak Karya

 

(KK) pada 2004, baik perusahaan tambang dalam negeri dan luar negeri. Dengan adanya UU pertambangan 4 tahun 2009, lalu diikuti adanya gerakan nasional yang diinisiasi KPK, yakni Korsup Minerba, hingga september 2017, tinggal 5 IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang berstatus CnC (Clean and Clear).

 

Kelimpahan mineral bijih nikel dalam perut bumi kabupaten Raja Ampat, tentu akan menjadi ancaman keberlangsungan ruang hidup masyarakat yang tinggal disekitar, tak hanya kawasan wisata bahari Raja Ampat. Bahwa, per September 2017 hanya menyisakan 5 IUP, tidak tertutup kemungkinan akan bertambah, mengingat potensi nikelnya yang cukup besar, dan telah ditetapkannya wilayah pertambangan (WP) terbaru pada Oktober 2017. Dan politik transaksional yang sangat mungkin merubah kebijakan apa pun yang telah dikeluarkan sebelumnya, termasuk pelarangan pemberian izin tambang di kawasan wisata Raja Ampat.


Posting Komentar

0 Komentar