Oleh: Fecki mobalen
('Masyarakat Adat dan Hak-hak masyarakat atas kemandirian diakui secara
internasional. Pengakuan ini kemudian dikukuhkan dalam deklarasi
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 13 September 2007 di New York,
Amerika Serikat')
Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat yang hidup berdasarkan
asal-usul leluhur secara turun temurun di wilayah adat, yang memiliki
kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang
diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan
kehidupan masyarakatnya.
Keberadaan kelompok-kelompok masyarakat Adat di Tanah Papua, sebagaimana juga merupakan realitas sosiologis dan
antropologis di sebagian besar wilayah leluhur (Papua) adalah
fakta yang tidak terbantahkan.
Penduduk
asli mendiami area yang cukup luas di permukaan bumi. Tersebar di
seluruh dunia dari Kutub Utara sampai dengan Pasifik Selatan, mereka
berjumlah sekitar 300 juta. Menurut perkiraan kasar, mereka disebut
sebagai penduduk asli atau masyarakat aborijinal karena telah tinggal di
tanah mereka sebelum adanya pendatang dari mana pun.
Menurut
satu definisi, mereka adalah keturunan orang-orang yang telah mendiami
suatu daerah atau wilayah geografis, pada saat datangnya masyarakat
dari asal-usul budaya atau etnik yang berbeda.
Pendatang baru tersebut kemudian menjadi dominan melalui penaklukan, pendudukan, pemukiman, dan caracara lain.
Di
antara banyak penduduk asli adalah suku Indian dari Amerika (misalnya,
Masyarakat Maya di Guatemala dan Masyarakat Aymaras di Bolivia), Inuit
dan Aleutian dari wilayah sirkumpolar, Saami di Eropa Utara, Aborijin
dan Selat Torres di Australia, serta Maori di New Zealand.
Penduduk
asli ini sebagian besar telah mempertahankan karakter sosial, budaya,
ekonomi, dan politik yang jelas berbeda dengan yang dimiliki
segmen-segmen masyarakat lain dalam suatu nasion.
Atas Hak-Hak Masyarakat Adat
(United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People)
Masyarakat
Adat mempunyai hak terhadap penikmatan penuh, untuk secara bersama-sama
atau secara sendiri - sendiri, semua hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan dasar yang diakui dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan hukum
internasional tentang hak asasi manusia.
Masyarakat
Adat dan warga-warganya bebas dan sederajat dengan semua
kelompok-kelompok masyarakat dan warga-warga lainnya, dan mempunyai hak
untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam menjalankan hak-hak
mereka, khususnya yang didasarkan atas asal-usul atau identitas mereka.
Masyarakat
Adat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak
tersebut, mereka secara bebas menentukan status Politik mereka dan
secara bebas mengembangkan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.
Negara mengakui dan menghormati.
Secara
deklaratif, dalam amandemen konstitusi, masyarakat hukum adat diakui
dan dihormati sebagai subjek hukum oleh Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang
Dasar NKRI Tahun 1945 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.”
Menurut Thontowi, hak tradisional
Hak
tradisionaladalah: “hak-hak khusus atau istimewa yang melekat dan
dimiliki oleh suatu komunitas masyarakat atas adanya kesamaan asal-usul
(geneologis), kesamaan wilayah, dan obyekobyek adat lainnya, hak atas
tanah ulayat, sungai, hutan dan dipraktekan dalam masyarakatnya.”5
Menyimpulkan dari pendapat Thontowi di atas, berarti secara deklaratif
wilayah adat telah diakui sebagai hak tradisional yang melekat milik
masyarakat hukum adat oleh konstitusi.
Jika
melihat konstruksi konstitusi yang secara deklaratif telah mengakui
masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dan wilayah adat sebagai
salah satu hak tradisionalny.
Peraturan Nasional terkait Pengakuan Masyarakat Hukum Adat
Pasal
18 B ayat (1): “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan undang-undang.” - Pasal 18B ayat (2): “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang.”
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
Memahami
tujuan dan batasan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dapat dicermati
di dalam UU No. 21 Tahun 2001. “Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada
dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan
rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewenangan
yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi
Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua.
Kewenangan
ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya
dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang
memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan
kaum perempuan.
Peran
yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah,
menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan
keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta
lingkungan alam Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan
lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan
pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan
hukum adat”.
Setelah berlakunya UU Otsus
Setelah
berlakunya UU Otsus, Pemerintah Provinsi Papua mengeluarkan tiga
Perdasus terkait pengakuan MHA dan sumberdaya alam, yakni Perdasus Nomor
21 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi
Papua, Perdasus No. 22 tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua, dan Perdasus Nomor 23 Tahun
2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga
Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.
Secara
umum, ketiga Perdasus tersebut adalah kebijakan pelaksana UU Otsus
dalam menyelenggarakan pengakuan MHA dan pengelolaan sumberdaya alam MHA
di Provinsi Papua.
Ada
beberapa pasal dalam deklarasi yang mengatur lebih lanjut tentang hak
menentukan nasib masyarakat sendiri termasuk kekayaan alam yang ada di
lingkungan wilayah masyarakat adat/asli (FPIC). Pasal-pasal kewajiban
penerapan FPIC itu diantaranya;
Pasal 10
Masyarakat
adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah
mereka. Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa persetujuan bebas
dan sadar, tanpa paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan, dan
hanya boleh setelah ada kesepakatan perihal ganti kerugian yang adil dan
memuaskan, dan jika memungkinkan, dengan pilihan untuk kembali lagi.
Pasal 11
1.
Masyarakat adat mempunyai hak untuk mempraktikkan dan memperbarui
tradisi-tradisi dan adat budaya mereka. Hal ini meliputi hak untuk
mempertahankan, melindungi dan mengembangkan wujud kebudayaan mereka di
masa lalu, sekarang dan yang akan datang, seperti situs-situs arkeologi
dan sejarah, artefak, disain, upacara-uparaca, teknologi, seni visual
dan seni pertunjukan dan kesusasteraan.
2.
Negara-negara akan melakukan pemulihan melalui mekanisme yang efektif
termasuk restitusi, yang dibangun dalam hubungannya dengan masyarakat
adat, dengan rasa hormat pada kekayaan budaya, intelektual, religi dan
spiritual mereka, yang telah diambil tanpa persetujuan bebas dan sadar
dari mereka, atau yang melanggar hukum-hukum, tradisi dan adat mereka.
Pasal 18
Masyarakat
adat mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan
keputusan berkenaan dengan hal-hal yang akan membawa dampak pada hak-hak
mereka, melalui perwakilan-perwakilan yang mereka pilih sesuai dengan
prosedur mereka sendiri, dan juga untuk mempertahankan dan mengembangkan
pranata pembuatan keputusan yang mereka miliki secara tradisional.
Pasal 19
Negara-negara
akan mengkonsultasikan dan bekerjasama secara tulus dengan masyarakat
adat melalui institusi-institusi perwakilan mereka sendiri agar mereka
bisa secara bebas menentukan persetujuan mereka sebelum menerima dan
melaksanakan undang-undang atau tindakan administratif yang mungkin
mempengaruhi mereka.
Pasal 26
Ayat 2
Masyarakat
adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan
mengontrol tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang
mereka miliki atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan
pemanfaatan secara tradisional lainnya, juga tanah-tanah,
wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang dimiliki dengan cara
lain.
Pasal 27
Negara-negara
akan membentuk dan mengimplementasikan, dalam hubungannya dengan
masyarakat adat yang bersangkutan, sebuah proses yang adil, independen,
tidak memihak, terbuka dan transparan, dalam memberikan pengakuan yang
benar atas hukum-hukum masyarakat adat, tradisi-tradisi,
kebiasaan-kebiasaan dan sistem-sistem penguasaan tanah, untuk mengakui
dan memutuskan hak-hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber
daya mereka yang lainnya, termasuk yang dimiliki secara tradisional atau
sebaliknya dikuasai atau digunakan. Masyarakat adat memiliki hak untuk
berpartisipasi dalam proses-proses ini.
Pasal 28
1.
Masyarakat adat memiliki hak untuk mendapatkan ganti kerugian, dengan
cara-cara termasuk restitusi atau, jika ini tidak memungkinkan,
kompensasi yang layak dan adil, atas tanah, wilayah dan sumber daya yang
mereka miliki secara tradisional atau sebaliknya tanah, wilayah dan
sumber daya yang dikuasai atau digunakan, dan yang telah disita, diambil
alih, dikuasai, digunakan atau dirusak tanpa persetujuan bebas tanpa
paksaan dari mereka terlebih dahulu.
2.
Kecuali melalui persetujuan yang dilakukan secara bebas oleh kelompok
masyarakat yang bersangkutan, kompensasi atas tanah, wilayah dan sumber
daya akan dilakukan berdasarkan pertimbangan terhadap kualitas, ukuran
dan status hukum atau berdasarkan kompensasi moneter atau ganti rugi
yang layak lainnya.
Pasal 29
Ayat 2
Negara-negara
akan mengambil langkah-langkah yang efektif untuk memastikan bahwa
tidak ada penyimpangan atau pembuangan bahan-bahan berbahaya di atas
tanah-tanah dan wilayah-wilayah masyarakat adat tanpa persetujuan bebas
dan sadar tanpa paksaan dari mereka.
Pasal 30
1.
Aktivitas-aktivitas militer tidak boleh dilakukan di tanah atau wilayah
masyarakat adat, kecuali dibenarkan oleh sebuah keadaan yang mengancam
kepentingan umum atau dapat juga dilakukan berdasarkan persetujuan
secara bebas dengan atau karena diminta oleh masyarakat adat yang
bersangkutan.
Pasal 32
Ayat 2
Negara-negara
akan berunding dan bekerjasama dalam cara-cara yang tulus dengan
masyarakat adat melalui institusi-institusi perwakilan mereka sendiri
supaya mereka dapat mencapai persetujuan yang bebas tanpa paksaan
sebelum menyetujui proyek apapun yang berpengaruh atas tanah-tanah atau
wilayah mereka dan sumber daya yang lainnya, terutama yang berhubungan
dengan pembangunan, pemanfaatan atau eksploitasi atas mineral, air, dan
sumber daya mereka yang lainnya.
Pasal 40
Masyarakat
adat memiliki hak atas akses ke, dan untuk memperoleh keputusan secara
cepat melalui prosedur-prosedur yang adil dan disetujui secara bersama
bagi, penyelesaian konflik dan sengketa dengan Negara dan pihak-pihak
yang lain, dan juga bagi pemulihan yang efektif untuk semua pelanggaran
hak-hak individual dan kolektif mereka.
Keputusan
seperti itu harus mempertimbangkan adat, tradisi, peraturan-peraturan
dan sistem hukum dari masyarakat adat yang bersangkutan dan hak asasi
manusia internasional.
Pasal
4 Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui bahwa dalam pemenuhan
hak-hak yang dijamin oleh Negara sesuai dengan Kovenan ini, Negara
tersebut hanya boleh mengenakan pembatasan hak tersebut sedemikian rupa
hanya.
BAGIAN
III Pasal 6 1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak atas
pekerjaan, yang mencakup hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari
nafkah melalui mekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan
akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi hak
tersebut.
2.
Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini
untuk mencapai perwujudan sepenuhnya hak ini akan mencakup program
bimbingan dan pelatihan teknis dan kejuruan, kebijakan dan teknik untuk
mencapai perkembangan ekonomi, sosial dan budaya yang mantap, serta
lapangan kerja yang penuh dan produktif, berdasarkan kondisi yang
menjamin kebebasan politik dan ekonomi yang mendasar bagi individu.
Pasal
7 Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk
menikmati kondisi kerja yang adil dan baik, yang terutama menjamin:
a)
Imbalan yang memberikan semua pekerja, sekurang-kurangnya: Upah yang
adil dan imbalan yang sama untuk pekerjaan yang senilai tanpa pembedaan
dalam bentuk apapun, khususnya perempuan yang harus dijamin kondisi
kerjanya yang tidak lebih rendah daripada yang dinikmati laki- laki,
dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama;
Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Kovenan ini;
b) Kondisi kerja yang menjamin keselamatan dan yang sehat;
c)
Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang
yang lebih tinggi tanpa pertimbangan apapun selain senioritas dan
kemampuannya;
****
0 Komentar