Ad Code

Responsive Advertisement

LOKAKARYA PELATIAHN PEMETAAN PARTISIPATIF WILAYAH ADAT DAN PENGGUATAN KAPASITAS KOMUNITAS/MARGA DI KAMPUNG WONOSOBO DISTRIK MOI SIGIN KABUPATEN SORONG, PAPUA BARAT.




Oleh: Feki Mobalen 

Kabupaten Sorong, Sosialisasi Pemetaan Partisipatif dan Pemetaan Hutan Adat di Kampung Wonosobo, Distrik Moi Siggin, Kabupaten Sorong, Papua Barat. 16/Oktober/2019.

Lokakarya ini diselengarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Pd-Aman Sorong Raya, Lokakarya ini disponsori oleh the Samdhana Institute dan DGM-I, ini melibatkan Kepala kampung wonosobo, Dewan Adat Kampung, marga Sawat, marga Fadan dan Klagilit.

Setelah Belanda menyerah kepada Indonesia dan meninggalkan tanah Papua, semua aset yang ada di Papua termasuk di Sorong ditinggalkan oleh Belanda. Pemerintah Indonesia dengan legitimasi sebagai negara yang merdeka mulai dengan sistemnya menguasai dan mengklaim semua aset yang ditinggalkan Belanda sebagai aset negara dan menutup mata terhadap status politik tanah Papua.

Tanah di Klamono dialihkan menjadi tanah milik PERMINA (sekarang menjadi PERTAMINA). Tanah NNGPM seluas 3.250 ha dialihkan menjadi tanah Negara. Pada tahun 1972 Permina memulai kegiatan seismic di Seget dan Salawati dibawah salah satu CV milik Aqao Meles (sekarang orangnya tinggal di pulau Duum). Selama kegiatan eksploitasi dan eksplorasi tambang minyak dan gas bumi baik di Klamono maupun Seget, Masyarakat Adat tidak mendapat pengakuan sebagai pemilik tanah adat dan tidak punya ruang untuk mengaksesnya.

Tekanan terus berlangsung, beberapa kampung di Salawati daratan dijadikan satu lalu di pindahkan ke sebuah pulau yang bernama Yeflio. Kawasan perkampungan yang ditinggalkan kemudian dijadikan sebagai kawasan investasi milik PERTRO METREN perusahan asing rekanan Pertamina. Kondisi serupa juga terjadi di Waliam, Duriang Kari, Malabam dan Seget. Tekanan ini dengan sendirinya menciptakan marjinalisasi dan sampai sekarang masyarakat adat distrik Seget pada umumnya masih tinggal di rumah-rumah beratap sagu dan perkampungan di sana sangat kumuh dan jauh dari standar pemukiman yang layak.

Di atas tanah-tanah Pertamina ini muncul berbagai jenis sertifikat tanah milik oknum staff Pertamina, investor, pejabat pemda dan TNI/Polri.

Selain sertifikat tanah ada berbagai usaha dibuka, antara lain Sawmill, IPK, IHPHH, milik pengusaha-pengusaha kayu yang tinggal di Jakarta termasuk Robert Kardinal. Perhatian pemda terhadap masyarakat di sekitar daerah eksplorasi hampir tidak ada, sehingga rata-rata masyarakat di sekitar berada pada titik kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan yang tiada tara.

Tanah negara 3.250 ha (bekas NNGPM menjadi lahan bisnis kaum imigran, investor besar kecil, dan negara sehingga mengakibatkan pemilik tanah adat kehilangan haknya dan hampir semuanya menjadi pihak tanpa tanah.

Sejak tahun 1977 program transmigrasi pertama dicanangkan di Papua, tepatnya di Kelurahan Klasaman, lahan yang dibutuhkan sangat luas, mencapai 700.000 ha. Tanah-tanah masyarakat kemudian diserahkan pada pemerintah untuk program transmigrasi akibat adanya intimidasi militer. Hal serupa juga terjadi di wilayah transmigrasi lain, yaitu Aimas.

HPH PT. Intimpura Timber Co. memulai kegiatan survei pada tahun 1990 di distrik Makbon di bawah bendera Pusat Koperasi Angkatan Darat (PusKopAD) milik Kodam Trikora Papua. Masyarakat adat tidak menghendaki HPH ini, namun aparat selalu berkata jika ada di antara masyarakat adat yang menahan dusunnya maka ia akan berhadapan dengan TNI. Yang melawan dan tidak mau menyerahkan hutannya akan didakwa menyembunyikan orang-orang yang melakukan aktifitas Organisasi Papua Merdeka (OPM) di sana. Dengan dugaan seperti ini membuat masyarakat trauma dan akhirnya harus menerima kehadiran PT. Intimpura.

Pembayaran ganti rugi tidak sesuai dengan UU yang berlaku di negara ini, setiap pembayaran konpensasi selalu di lakukan di kantor Markas Komando Resort Militer (Makorem). Kompensasi yang diberikan tak lebih dari Rp 10 juta, bahkan banyak masyarakat yang tidak mendapatkan apa-apa.

Semua perusahaan yang ada melakukan rekrutmen tenaga kerja secara diskriminatif, orang papua, khususnya orang Moi sangat dibatasi untuk masuk ke perusahaan-perusahaan. Kalaupun ada, mereka kebanyakan hanya jadi pekerja kasar.

Selain HPH Intimpura, ada HPH Hasrat Wira Mandiri, HPH Hanorata, HPH Multi Wahana dan HPH Manca Raya Agro Mandiri. Lima HPH ini yang terbesar dan sangat merugikan masyarakat. Kasus-kasus di atas lama kelamaan dengan sendirinya melahirkan 1001 macam rasa kecewa, sekaligus memicu gagasan-gagasan baru untuk berjuang.

Bpk, Yordanus Klagilit. Kami keluarga besar sangat berterimakasi kepada teman-teman semua bersama tim ini yang manan gerakan roh tuhan yang baik sehinga di 2016 yang silang telah memberikan masukan kepada keluarga dan kami menimbang dan sekarang kita lihat hal pertama yang namanya tanah ini suda menjadi satu kebiasaan bai orang papau pada umumnya. Menggingat hal ini 10 atau 20 tahun kedepan pasti orang papua ini akan menjadi pendatang dan orang cinana yang tingal di tempat yang menjadi hal milik kita. Kami juga sangat identic untuk dapat menerimanya.

Kepala kampung, kegiatan ini merupakan keluhan keluarga, menggingat beberapa tahunlaulu kawan-kawan dari Aman pernah dating ke kampung ini dan menjelaskan bagaimana ancaman infestasi di wilayah Adat dan Apa yang harus dilakukan untuk melindungi wilayah Adat dari Ancaman infestasi “ ini hutan saya” apa buktinya. Olehnya pemetaan wilayah Adat sangatlah penting untuk menjaga wilayah Adat.

Lanjut, keluarga besar sangat berterimakasi dengan adanya pelatihan yang dilakukan dikampung ini  dan juga nanti pelatihan yang mulainya hari ini dan beberapa hari kedepan menjadi pembelajaran untuk kami keluarga.

Ujar, salasatu orang tua Adat Bpk L,Klagilit “hutan kami adalah peninggalan leluhur moyang kami yang suda hidup sebelum adanya negara ini ada, kami punya hutan kami punya adat dan kami punya tradisi yang hidup bersama kami ratusan tahun,” ujar bapak. 

Tapijuga bagaimana penjelasan Pb Aman, Epot Pemetaan wilayah Adat sangatlah penting dikarenakan hari ini banyak sekali ancaman wilayah adat sangatlah bersar “ Petakan wilayah adatmu sebelum dipetakan orang lain”,ujar Epot.

Salasatu marga yang juga terlibat dalam kegiatan Lokalati, Abraham Sawat saya berharap kegiatan pemetaan ini nantinya juga harus terjadi di marga saya dan saya siap untuk memfasilitasi teman-teman aman yang datang, dikarenakan selama ini kami mau menjaga wilayah adat ini sangat berat karena kami tidak tau undang-undang. Mereka yang dating selalu menggunakan undang jadi kami selalu kala.

Fecki Mobalen, Ketua Pd-Aman Sorong raya Harapanya melalui Kegiatan Lokalati Pemetaan berbasis partisipatif dan pengguatan kapasitas komunitas marga di wilyah adat sub suku nmoi sigin ini akan memberikan sedikit manfaat bagi komunitas marga. Dan marga yang suda paling siap untuk di petakan wilayah Adatnya adalah marga klagilit. tapijuga proses serupa akan juga menggikuti marga-marga yang suda siap untuk dapat di petakan.

dan proses pemetaan ini juga memberi dampak posistif bagi marga atau komunitas marga, dan dimulai dengan musyawarah marga, Pembuatan Sketsa, Pengalian data social dan pemetaan. Harapan dengan memulai kegiatan ini sedikit demi sedikit wilayah Adat marga biasa terpetakan dan masyarkat Adat sendiri mengadvokasi Haknya.


****

Posting Komentar

0 Komentar