Oleh: Feki Mobalen
Kampung waijan
Asal mulah nama kampung
waijan adalah dari nama sebuah kali yang berada di lokasi tersebut.
Sejak tahun 1984 penduduk kampung waijan mulai dipenuhi oleh penduduk
transmigrasi. Dengan jumblah penduduk pada waktu itu 200 kk, yang
terdiri dari penduduk lokal 50 kk, dan penduduk transmigrasi 150 kk,
dengan mata pencarian penduduk waijan adalah mayoritas sebagai petani
sagu dan petani sawah.
Kampung waijan merupakan
salah satu kampung di Distrik Salawati tengah Kabupaten Raja – Ampat,
Provinsi Papua Barat, dan luas kampung waijan 2450 Ha.
Status kampung waijan adalah sebagai kampung pemekaran dari kampung kalobo yang masyarkatnya adalah sebagian besar adalah masyarkat waijan yang dimekarkan dan dulu masyarakat waijan terdiri dari masyarakat adat dan masyarkat transmigrasi pada tahun 1984, dan pada saat itu kampung waijan dulunya masi bergabung dengan kampung kalobo dan kampung waijan sendiri masi masuk kabupaten Sorong, setelah masuk kabupaten Raja-Ampat pada tahun 1987 barulah dibentuk suatu pemerintahan kampung waijan.
Status kampung waijan adalah sebagai kampung pemekaran dari kampung kalobo yang masyarkatnya adalah sebagian besar adalah masyarkat waijan yang dimekarkan dan dulu masyarakat waijan terdiri dari masyarakat adat dan masyarkat transmigrasi pada tahun 1984, dan pada saat itu kampung waijan dulunya masi bergabung dengan kampung kalobo dan kampung waijan sendiri masi masuk kabupaten Sorong, setelah masuk kabupaten Raja-Ampat pada tahun 1987 barulah dibentuk suatu pemerintahan kampung waijan.
Hubungan Masyarkat Adat dengan Dusun Sagu
Di kampung waijan,
kehidupan masyarakt pribumi dikampung masi memiliki hubungan dengan
dusun sagu di mana dususn sagu merupakan makanan pokok dijaman dulu bagi
leluhur suku fiawat hinga saat ini sebelum mereka mengenal makanan
yang kerap disebut Padi atau beras,
atau padi di kampung waijan.
Namun semenjak Tahun 70 sampe 80 masukny transmigrasi dikampung waijan tingal dan berbaur dengan kehidupan masyarakt setempat secara langsung saling memperkenalkan diri,budaya,bahasa,cara hidup dan sistim pertanian.
Namun semenjak Tahun 70 sampe 80 masukny transmigrasi dikampung waijan tingal dan berbaur dengan kehidupan masyarakt setempat secara langsung saling memperkenalkan diri,budaya,bahasa,cara hidup dan sistim pertanian.
Dan padah tahun 2000
pada saat itu masyarakat pribumi juga sudah bisa menanam padi dan
memiliki sawah sendirih. Dan mungkin pada saat itu masyarakat mulai ikut
menanam,memanen mengolahnya menjadi makanan sehinga masyarkat adat
Fiyawat mulai terbiasa makan nasi menjadi andalan menuh utama dalam
keluarga, dan posisi sagupun digantikan dengan beras.
Tapijuga kenyatan
dilapangan bahwa mereka memang erat masi memiliki hubungan dengan
wilayah dan dusun sagu. Namun mengenai polah makan sudah mulai mengalami
perubahan pola makan dimana suda sangat jarang mereka mengolah sagu
menjadi makanan sehari-hari mereka.
Itu jelas terlihat dari
beberapa Opserfasi dilapangan diman hampir sebagian besar masyarkat
didapur mereka tidak terlihat patih sagu, yang hanya terlihat tumpukan
karung-karung bersa.
Dan juga dimeja makan tidak terlihat saguh yang di olah menjadi makanan utama, sebaliknya adalah nasih. Selamah ber kunjungan dikampung waijan dan mengianap di rumah warga selama kurang lebih beberapa hari disana.
Dan juga dimeja makan tidak terlihat saguh yang di olah menjadi makanan utama, sebaliknya adalah nasih. Selamah ber kunjungan dikampung waijan dan mengianap di rumah warga selama kurang lebih beberapa hari disana.
Dari pengamatan hidup
bersama salasatu keluarga, perubahan polah makan dan selerah makan dari
sagu keberas itu sudah terjadi beberapa tahun lalu, kenapa demikian
karena hampir disetiap rumah yang di kunjungi mulai pagi, siang dan
malam tidak pernah di berikan sagu sebagai makanan pokok untuk dapat
dimakan. Namun yang sering di berikan pagi , Kue dan sejenisnya ,makan
siang nasi sebagai makanan menu utama dan malam nasipun menjadi menu
santapan malam.
Bulan desember 2017
dikampung waijan, dimana suasanah hariraya natal bagi umat Kristen
dikampung-kampung dan salah satu kampung yang menjadi tempat kunjungan
adalah kampung waijan.
Tepat jam 10 pagi berkunjung ke rumah salah satu warga di kampung waijan, berkunjung dan disambut baik oleh bapak keluarga. Dan pada kesempatan itu ditawarkan oleh keluarga, untuk minum Teh dan ditawarkan makan pisang rebus. Tidak tungu lamah langsung meneriam tawaran tersebut, dan suasanah pun menjadi suasana menikmati berkat yang di sediakan keluarga.
Tepat jam 10 pagi berkunjung ke rumah salah satu warga di kampung waijan, berkunjung dan disambut baik oleh bapak keluarga. Dan pada kesempatan itu ditawarkan oleh keluarga, untuk minum Teh dan ditawarkan makan pisang rebus. Tidak tungu lamah langsung meneriam tawaran tersebut, dan suasanah pun menjadi suasana menikmati berkat yang di sediakan keluarga.
Sambil menikmat hidangan
sarapan pagi, dan saya pun langsung bercerita seputara situasi dapur
dipagi hari, Namun pada saat itu “ibu” tidak meresponi ibuh lebih memili
di dapur untuk mengurus makan siang keluarga.
Terpaksa kesempatan
bertanya di alihkan kepada bapak, tentang situasi perubahan di dapur
pagi hari beliaupun menjawap “ semenjak tahun 2000” masyarakat dikampung
waijan mulai mengenal padi semenjak itulah mereka cenderung lebih kerap
mengonsumsih beras dari padah sagu, ditambah anak-anak sekarang yang
suda tidak terbiasa mengonsumsi sagu maunya makan beras ujar bapak dan
istrinya pun menambah suara dari dapur iya benar apa yang dikatakan.
Tapi juga keterangan
dari seorang “ibu” di kampung samate, kami sudah jarang mengonsumsih
sagu lebih sering memakan nasi dan sagu biasanya kalo kami senang
barulah kami memakanya tapi tidak setiap hari.
Ada juga keterangan dari
“Bpk, Nason Parajal”,semenjak tahun 2000 masyarkat loka lebih mengenal
beras dikarenakan masing-masing keluarga memiliki ladang padih yang
akan di olah dan ditanami padi. Dan pada saat itu masyarakat dikampung "Weilabuh" mulai akrap denga beras tanam.
Selain keterangan dari
beberapa orang, dari pengamatan dan hidup bersama dari beberapa tampat
ternyata sama. Bahwa turunya konsumsi sagu dikalangan masyarakat papua
itu bukan sesuatu hal yang beropini dan asumsi tapi memang hal yang
terjadi diakibatkan banyaknya lahan-lahan baru yang akan dan yang sudah
dikonversikan menjadi ladang padi dan stok bulok yang memanjakan
masyarkat sehinga masyarkat suda sangat jarang mengonsumsi sagu lagi.
Ada beberapa tapi cuman sekedar tidak menjadikan sagu sebagai makanan
lokal mereka, justru beras atau padi memiliki posisi teratas didapur
merekah.
Namun hampir sebagian
besar masyarakat pribumi dikampung, waijan dan beberapa kampung sekitar
masi memiliki dusun dan masing-masing marga juga memiliki dusun sagu
yang begitu sangat lebat dan luas, tapi juga aktifitas mereka masi di
lingkungan dusun sagu setiap saat.
Tapijuga pengetahuan
mereka tentang pengolahan sagu menjadi makanan masi dimiliki warga
setempat dan pengetahuan memanfaatkan pohon sagu mulai dari, daun, bua,
pelepah sagu, kulit sagu dan hampas pati ela sagu masi terjaga hinga
generasi hari ini. Dan hampir disepanjang jalan kampung waijan masi
terliat pepohonan sagu yang tumbuh di hamparan jalan dan masi terrawat
hinga saat ini.
Tapijuga pengelolaan
sagu secara tradisional masi dimiliki pleh warga kampung waijan karene
biasanya mereka untuk mengelolah sagu yang, terutama yang di
lakukan adalah pemilihan pohon sagu yang mau di tebang maksimal
usia sagu yang mau ditebang umur 8-16 tahun dengan ciri- ciri
daun bagian pucuk mulai mengecil, duri pada pelepa daun sudah
hilang, keluarnya serangkaian bunga pada bagian pucuknya dan
adanya buah seperti buah salak hal ini dilakukan masyarakat
untuk menjaga keseimbangan alam sehingga alam tidak rusak dan
sagu pun tidak punah.
Setelah melakukan
pemilihan pohon yang dianggap sudah dewasa ditebang kemudian
tahapan-tahapan yang dilakukan yaitu, pembersihan duri-duri sagu
dan dikupas bagian luar dan dibelah menjadi dua bagian kemudian
pati sagu di hancurkan dengan alat yang disebut lemek atau
alat untuk menokok. Pelepah sagu di manfaatkan sebagai tempat
ramas atau pelepah sebagai tempat untuk mengalirkan air sagu
yang akan diramas biasanya masyarakat menggunakan air rawa dan
sungai untuk meramas sagu.
Untuk memisahkan pati
sagu agar tidak bercampur baur dengan hasil yang akan
diperoleh masyarakat menggunakan kelambu atau kain untuk memeras
air sagu sehingga hasil yang akan diperoleh maksimal. Padasat suda
mendapatkan hasil tepung sagu, mereka juga suda mempersiapkan temapt
atau wadah yang akan digunakan sebagai tempat mengeringkan sagu, yang
biasanya disebut, sagu tuman yang artinya tepung sagu yang di bungkus
dalam daun sagu anyaman.
Pada proses itu, kurang
lebih tinggi sagu tumang mencapai 1cm, tinginya, Dan sagupun siap
dipasarkan di kampung tapijuga masyarkat sering menjualnya ke kota
sorong. Kisaran harga 1 tumangn sagu dikampung mencapai Rp 20.000 (
duapuluh ribu), tapi juga bagi masyarakat yang memiliki modal lebih akan
menjualnya di kota sorong dengan kisaran harga , Rp 45. (empat pukuh
lima ribu) per satu tumang. Untuk di kampung waijan.
Mata Pencarian.
Mayoritas matapencarian
penduduk adalah petani , sawah dan saguh hal ini disebapkan karena sudah
turun temurun sejak duluh masyarakat lokal mengolah sagu dan masyarkat
trans menanam padi dan masing-masing menerapkan sitem tradisional
persawahan, pengolahan saguh dan sistem pertanian berpindah,dan juga
minimnya tingkat pendidikan sehinga menyebapkan masyarkat tidak punya
kehalian lain sehinga tidak punya pilihan lain selain bercocok tanam dan
memproduksi sagu.
Selai sebagai petani
masyarkat kampung waijan juga melakukan aktifitasnya sebagai peternak
sebagai pekerjaan tambahan tetapi hasilnya juga belum bisa untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Tapijuga jumblah tenaga kerja lebih banyak dari jumblah kk disebapkan karena profesi masyarkat selain PNS, potensi Sda, yang ada dikampung waijan mengharuskan setiap anggota keluarga ikut terlibat dalam mengelolah sumberdaya alamnya.
Tapijuga jumblah tenaga kerja lebih banyak dari jumblah kk disebapkan karena profesi masyarkat selain PNS, potensi Sda, yang ada dikampung waijan mengharuskan setiap anggota keluarga ikut terlibat dalam mengelolah sumberdaya alamnya.
Keadaan masyarakat Adat waijan.
Sebagian besar masyarakt
kampung waijan bermata pencarian sebagai petani / persawahan, Tokok
Sagu dan peternak. Potensi unggulan dari kampung waijan adalah Padi dan
tokok sagu selain itu pada umunya masyarakat kampung waijan hasilnya
dikonsumsi sendiri tapijuga ada yang menjualnya ke kota sorong.
Perkembanganya saat
meminta keterangan dari Kepala kampung waijan, dikatakan perkembangan
pertanian dan pengolahan sagu tidak bisa berkembang dan menjadi inkam
pendapatan masyarakat ini dikarenakan kurangnya ketersediaan sarana
produksi dan petugas penyulihan dalam hal ini Pemerintahan kabupaten
Raja – ampat dan juga akses transportasi laut yang sulit.
Pola kemandirian masyarkat Adat dan pengolahan sagu yang masi bertahan di Kampung Malawor.
Tapi juga pada tempat yang berbeda di masyarakat kampung Malawor Distrik Makbon Kabupaten Sorong
sudah lama mengonsumsi sagu dari Hutan alam dan sebagian sagu sudah
di tanam oleh nenek moyang secara turun-temurun. Kehidupan sehari-
hari masyarakat Malawor sebagai nelayan, berburu dan petani, biasanya
hasil yang di peroleh dari tani yaitu berupa sayur mayur dan
ubi-ubian.
Hasil tersebut di bawa
kepasar menggunakan transportasi darat kemudian di jual untuk
mendapatkan uang lalu beli beras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ketika beras dan ubi - ubian habis masyarakat mengkonsumsi sagu sebagai
pengganti.
Sebagian besar masyarakat masih mengelola sagu mengunakan metode tradisional dengan cara menebang sagu mengunakan mencadu kemudian kulit sagu di kupas lalu di tokok mengunakan penokok sagu yang di buat dari kayu lalu ujung kayu di pasang sebuah gelang besi berwarna putih lalu di ayunkan kepermukaan pati sagu lalu pati sagu menjadi butiran-butiran kecil kemudian diangkat ketempat peremasan sagu peremasan sagu menggunakan pelepah sagu.
Sebagian besar masyarakat masih mengelola sagu mengunakan metode tradisional dengan cara menebang sagu mengunakan mencadu kemudian kulit sagu di kupas lalu di tokok mengunakan penokok sagu yang di buat dari kayu lalu ujung kayu di pasang sebuah gelang besi berwarna putih lalu di ayunkan kepermukaan pati sagu lalu pati sagu menjadi butiran-butiran kecil kemudian diangkat ketempat peremasan sagu peremasan sagu menggunakan pelepah sagu.
Satu pohon sagu bisa
membutuhkan tenaga 2-3 orang bahkan bisa lebih masing mempunyai tugas
yang berbeda ada yang menokok, ada yang mengangkat pati sagu yang
sudah ditokok, dan ada yang mempunyai tugas meramas sagu waktu yang
di butuhkan untuk menyelasaikan satu pohon sagu sekitar 4-5 hari
tergantung kondisi cuaca.
Kalau kondisi cuaca
hujan maka membutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk menyelesaikan
satu pohon sagu, sedangkan perbandingan pengolahan sagu secara moderen
menggunakan mesin pemarut sagu tidak terlalu membutuhkan waktu yang
lama dan tidak terlalu membutuhkan tenaga yang banyak, cukup 1-2
orang sudah bisa menyelesaikan satu pohon sagu.
Sagu memiliki potensi besar sebagai sumber pangan namun belum dimanfaatkan secara maksimal.Kurangnya minat masyarakat untuk mengelolah sagu karena rendahnya kemampuan untuk menghasilkan sagu yang lebih untuk kebutuhan masyarakat lokal.
Sagu memiliki potensi besar sebagai sumber pangan namun belum dimanfaatkan secara maksimal.Kurangnya minat masyarakat untuk mengelolah sagu karena rendahnya kemampuan untuk menghasilkan sagu yang lebih untuk kebutuhan masyarakat lokal.
Masyarakat kampung
malawor merupakan masyarakat yang mempunyai hukum adat sejak
turun temurun begitu pula dengan penguasan dan pemanfaatan
hutan yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang
dahulu dan tidak bisa di berikan ke tangan orang lain atau ke
marga lain begitu pula dengan pemanfaatn pohon sagu, masyarakat
mengelola sagu secara turun temurun untuk di gunakan sebagai
bahan pangan dan di jual masyarakat memanfaatkan sebagian usaha
ladang, berburu, menokok sagu, dan memungut hasil hutan kayu
untuk memenuhi kebutuhan social ekonomi masyarakat setempat.
Ada 2 jenis
teknologi yang digunakan oleh masyarakat Kampung Malawor yakni: 1.
teknologi tradisional (lemek); 2. teknologi alat parut sagu mekanis;
Dari kedua jenis teknologi yang ada, teknologi mesin parut yang
umumnya digunakan masyarakat kampung saat ini walaupun demikian
teknologi lemek masih digunakan pada skala besar.
Berikut ini digambarkan kedua jenis teknologi dan peralatan penunjang proses pengolahan sagu tersebut:
Lemek bambu bahannya terbuat dari bambu dan tali dari bahan rotan
Lemek kayu bahannya terdiri dari kayu, besi sebagai pisau dan tali dari bahan rotan.
Kedua alat ini sama
bentuk dan fungsinya namun tegakannya berbeda.
Pada Lemek kayu posisi pisau pemotongnya lebih tegak dibandingkan Lemek bambu serta ujung pisaunya dilapisi besi yang diasah tajam. Sedangkan lemek bambu posisi pisau pemotong agak melengkung/bungkuk dan tidak dilapisi besi tajam.
Pada Lemek kayu posisi pisau pemotongnya lebih tegak dibandingkan Lemek bambu serta ujung pisaunya dilapisi besi yang diasah tajam. Sedangkan lemek bambu posisi pisau pemotong agak melengkung/bungkuk dan tidak dilapisi besi tajam.
Kedua alat ini sama
bentuk dan fungsinya namun tegakannya berbeda. Pada Lemek kayu
posisi pisau pemotongnya lebih tegak dibandingkan Lemek bambu serta
ujung pisaunya dilapisi besi yang diasah tajam. Sedangkan lemek
bambu posisi pisau pemotong agak melengkung/bungkuk dan tidak
dilapisi besi tajam.
Alat tebang/pembelah
pohon sagu : merupakan alat tebang dan belah batang sagu
berupa parang, kapak, dan kayu bebentuk dodos. Dengan alat pemotong
yang sederhana ini maka pohon sagu ditebang dan dibelah
sesuai ukuran kemudian isi sagu itu ditokok untuk diproses
selanjutnya.
Alat peramas/penyaring
: bahannya terdiri dari selaput tipis dari pohon kelapa seperti
kain kelambu berbentuk segi tiga, pelepah sagu bagian pangkal dan
tali dari bahan rotan.
Alat penimba air
(ember) wadah ini bahannya terbuat dari a) pelepah sagu
berbentuk runcing, b) tali rotan digunakan untuk jahit bagian
tepi pelepah sagu, c) tali timba dari rotan.
Wadah penampung patih
sagu (goti): merupakan wadah penampung patih dari hasil perasan.
Wadah ini biasanya terbuat dari pelepah sagu (goti).
Dengan ukuran panjang
dan lebarnya bervariasi. Khusus untuk wadah pelepah sagu (goti
halua), ukurannya kecil cocok digunakan oleh pengeloh yang
bekerja sendiri tanpa tenaga bantuan. Cara pembuatan wadah
penampung adalah sebagai berikut :
1. kayu penyanggah
posisi wadah agar tetap tegak, dipasang mengapit badan wadah
pada kedua sisi dengan jarak sekitar 1 m, kemudian diikat
tegang pada dua buah kayu penyanggah pada sisi kiri dan kanan wadah
dengan tali dari kulit dahan sagu.
2. bantalan penyanggah dari dahan sagu yang dipotong pendek dan diletakan dibawah wadah penampung.
3. dua buah pelepah
sagu yang agak lebar dipaku pada ujung wadah berfungsi untuk
menutup kedua ujung wadah penampung.
4. ampas sagu (ela) atau batang.
Pisang yang telah
busuk, berfungsi untuk menutup cela yang terbuka, agar patih sagu
hasil perasan tidak keluar dari kedua ujung wadah.
Wadah kemasan pati
sagu/sagu mentah (tumang sagu): merupakan wadah tempat kemas patih
sagu yang telah diperas. Terbuat dari daun sagu segar dan
matang. Sebuah wadah kemasan dibentuk dari 12-16 lembar daun
sagu, dianyam bulat panjang berbentuk tabung setinggi 30-40 cm,
dengan diameter 18-20 cm. Bagian bawah wadah di lapisi dengan
sedikit ampas sagu yang telah diperas (ela). Berfungsi untuk
menutup celah/lubang wadah kemasan sekligus menjaga kelembaban patih
sagu.
Produktivitas yang
dicapai dalam seminggu bisa mencapai 1-2 pohon sagu yang diolah.
Keseluruhan proses pengerjaan dari penebangan, hingga pengemasan
patih sagu ke wadah, membutuhkan waktu 14-21 hari dengan 4 orang
tenaga kerja.
Modifikasi dan
pengembangan dari alat semi mekanis yang menggunakan tenaga mesin.
Dari sisi efisiensi dan efektivitasnya mesin terbukti lebih unggul
dibanding alat tradisional (Lemek). Produktivitas yang dicapai dalam
seminggu bisa mencapai 2-3 pohon sagu yang diolah.
Keseluruhan proses
pengerjaan dari penebangan, hingga pengemasan patih sagu ke
wadah, membutuhkan waktu 10-12 hari dengan 3 orang tenaga kerja.
Penggunaan alat pendukung pengolahan memiliki sedikit perbedaan
yakni pada alat tebang pohon sagu, disamping menggunakan kapak, mesin
pemarut patih, wadah penampung tepung sagu (goti) terbuat dari
terpal dan penapisnya dari kain kelambu sedangkan wadah penimba air
dari ember.
Selebihnya dari peralatan yang digunakan adalah sama.
Selebihnya dari peralatan yang digunakan adalah sama.
Sumberdaya sagu
merupakan aset terbesar bagi masyarakatn sekitar hutan sagu,
begitu pula Masyaraakat di Kampung yang masi memiliki dusun sagu.
Jelas ketika sagu sudah
dimanfaatkan oleh masyarkat lokal setempat dengan baik, maka secara
tidak langsung sudah menjadi matapencarian yang memiliki nilai ekonomis
tingi bagi masyarakat di kampung malawaor dan di beberapa wilayah di
kabupaten sorong dan beberapa kabupaten sekitar.
Contoh kampung malawor
ini menjadi salasatu contoh yang mungkin bisa di contohi oleh
kampung-kampung lain yang masi memiliki dusun sagu.
****
0 Komentar